Sikap Jiwa Pada Teks
Oleh M. Anis Matta
(Hal-80) Teks memang sudah dimudahkan. Para pewaris nabi juga
suda menjelaskan dan menafsirkannya. Para pembaharu dibangkitkan dari waktu ke
waktu untuk memperbaharui memori, pemahaman dan juga komitmen. Tapi persoalan
kita dengan teks tidak selesai hanya dengan itu semua.
Proses pembelajaran melalui teks bukan merupakan rangkaian perburuan pada makna-makna yang rumit. Seperti misalnya para arkeolog ketika mereka menerjemahkan sebuah naskah kuno. Atau seperti pergumulan para filosof untuk menemukan makna dari sebuah rangkaian kata yang gelap. Ini bukan sekedar pergumulan intelektual.
Teks yang sudah dimudahkan ini adalah narasi dari sebuah sistem kehidupan. Ia adalah content dari ruang dan waktu manusia. Hanya ketika content itu diintegrasikan ke dalam kerangka ruang dan waktu di mana manusia menjadi pelaku maka sebuah wajah kehidupan akan muncul kepermukaan.
Jadi pergumulan dengan teks tidak boleh berhenti sekadar pada mengetahui makna, tapi harus berlanjut pada pada merasakan makna di dalam jiwa dan melalui tindakan. Dengan begitu pergumulan dengan teks seharusnya melalui tiga tahapan itu: mengetahui, merasakan dan melakukan. Dua tahapan yang pertama, yaitu mengetahui dan merasakan, menghasilkan pengetahuan tentang kebenaran dari sebuah teks. Ia membuat kita sadar, lalu yakin, lalu tercerahkan.
Tapi tahapan ketiga,
yaitu melakukan, menghasilkan pengalaman. Yang terakhir ini menyatukan
teks dengan raga kita, dan bukan hanya dengan jiwa. Dari situ makna bukan hanya
terpatri di dalam jiwa, tapi bahkan mengalir dalam darah. Menyatu dengan teks
dengan cara begitu akan membuat pengetahuan kita terkuatkan dengan pengalaman.
Dan itulah fungsi dari pengalaman: membuat pengetahuan menjadi solid.
Baca Juga: ParaPencipta Kemakmuran
Menyatu dengan teks adalah pencapaian tertinggi dari
seluruh proses pembelajaran kita dengan teks. Tapi justru itu bisa dicapai
ketika kita mendekati teks dengan cara yang sederhana: datanglah kepada teks
denga pikiran dan jiwa yang kosong, lalu bertanyalah: apa yang saya lakukan
dalam hidup? Maka jawaban kita pasti sama dengan jawaban Umar bin Khattab
ketika beliau ditanya tentang mengapa baru di akhir hanyatnya beliau menghapal
Al-Qur’an. Katanya: “karena baru saya melaksanakan semua isinya.”
Itulah yang menginspirasi Sayyid Quthub ketika beliau
menulis Fii Zhilalil Qur’an. Bahwa sikap jiwa kita kepada teks seharusnya
begitu: menerima untuk melaksanakan (at talaqqi lit tanfidz)
Majalah Tarbawi, Edisi 233 Th 12, Sya’ban
1431 H, 29 Juli 2010 M
Tidak ada komentar:
Posting Komentar